Tuesday, May 11, 2010

TRADISI DAN KEBIASAAN DALAM GEREJA SUKU


Pada hari Minggu, 9 Mei kemarin, saya mendapat pengalaman baru di tanah Batak ini. Sedih dan senang bercampur dalam pengalaman baruku ini. Kemarin, saya melayani di Pos PI GKKK Batang Toru, sebuah kota kecil, dua jam perjalanan dari Sibolga. Setelah menyelesaikan tugas pelayanan saya, saya diajak oleh salah seorang pengurus GKKK Batang Toru, dan juga salah seorang cikal bakal terbentuknya GKKK Sibolga, untuk ikut menghadiri pesta yang diadakan oleh gereja tetangga. Beliau bernama Bapak Wahyu. Karena keramahan dan kemurahan hatinya, beliau disegani oleh penduduk kota Batang Toru.

Selesai ibadah gereja, jam menunjukkan pukul 11.30, kami segera jalan kaki ke gereja tetangga. Ternyata begitu kami sampai di gereja tersebut, mereka belum selesai ibadah. Pendeta masih berkhotbah. Kami duduk di luar pelataran gereja bersama beberapa anggota jemaat gereja tersebut. “Tak apalah,” kataku, “lumayan bisa belajar dan dengar khotbah bahasa batak dari gereja tetangga, sekaligus gereja suku, yang memiliki banyak jemaat tersebar di Indonesia, bahkan kabarnya di luar negeri juga ada,” pikirku. Sambil tetap mendengarkan khotbah dalam bahasa Batak yang saya sama sekali tidak mengerti, saya bertanya kepada Pak Wahyu, “Ini pesta apa to Pak?” Beliau mengatakan bahwa yang akan dirayakan ini adalah Pesta Kebangunan Kaum Pria. “Oh, gitu toh,” ucapku. Rasa ingin tahuku semakin besar, dan ingin segera melihat acara apa ini. Kira-kira setengah jam kemudian, ibadah selesai. Seorang majelis gereja tersebut mengundang kami masuk ke tenda yang sengaja didirikan untuk acara ini. Tenda didirikan di luar halaman gereja.

Singkat cerita, Pak Wahyu dan saya bergerak masuk. Kami disuruh duduk di kursi paling depan!! Berjajar mulai dari pendeta gereja tersebut, Pak Wahyu, saya sendiri, kemudian di sebelah kanan saya ada tamu undangan lain. “Wuih, jarang-jarang kayak gini,”kataku dalam hati. Tak lama, kami disuguhi makan siang oleh panitia. Sambil makan, alunan musik khas Batak mengiringi makan siang kami. Sambil makan menghadap panggung kecil di depanku, tiba-tiba indra penglihatan saya tertuju pada beberapa tumpuk dus bir Bintang, dan ada juga bir hitam Guinness. “Apa pula ini? Untuk apa?” kataku dalam hati. Sambil berusaha menghabiskan makan siang, saya terus berpikir tentang hal itu, acarapun akhirnya dimulai.

Masih diiringi lagu khas Batak, MC naik panggung, berbahasa Batak yang tetap saya tak mengerti, namun saya mengira, sepertinya ini adalah acara lelang. Lelang ini bertujuan untuk pengumpulan dana gereja guna membangun sekolah TK yang bertempat di samping gedung gereja tersebut. Menurut informasi yang saya peroleh, seringkali dan bahkan katanya sudah menjadi tradisi bahwa setiap kali gereja membutuhkan dana, maka diadakan acara lelang tersebut. Sebenarnya biaya untuk pengadaan acara lelang ini saja, sudah dapat dikatakan sangat besar, sebab harus menyewa tenda, sound system, keyboard beserta pemainnya yang mahir memainkan lagu-lagu tanah Batak ini. Namun, sekali lagi, acara lelang ini sudah menjadi tradisi, yang dilakukan setiap kali gereja membutuhkan dana.

Baru kali ini aku menghadiri acara lelang, dan baru kali ini juga aku menghadiri acara lelang yang diadakan oleh gereja berkedok tradisi. “Menambah pengalaman baru,” kataku. Barang-barang yang diikutsertakan dalam lelang pun beragam, diantaranya: kepala babi, ekor babi, daging babi (dibuat sate; 1 tusuk berisi 3 daging besar), ayam bakar, hiasan dinding Perjamuan Makan Yesus, bir Bintang, bir hitam, air tuak, lemang (ketan yang dibakar di dalam bambu), dan selendang Ulos. Barang-barang dilelang dengan cara paket. Misalnya, sate daging babi 1 tusuk, lemang, tuak, 1 botol bir Bintang, dan 1 botol bir Guinness, dibuka dengan harga sekian, dan seterusnya sampai penawar harga tertinggi yang akan mendapatkannya. Nah, sekarang baru tahu saya apa fungsi bir tersebut. “Tetapi mengapa harus memakai bir? Apa gak ada minuman lain yang bisa dilelang?” pikirku.

Sementara acara lelang masih berlanjut, kami undur diri. Dalam perjalanan, saya bertanya kepada Pak Wahyu, “Pak, mengapa bir Bintang dan Bir Guinness diikutsertakan di dalam acara lelang gereja?” “Itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Minuman itu sudah biasa bagi mereka,” jawabnya. Yah, itulah tradisi dan kebiasaan. Tradisi dan kebiasaan yang tidak mudah untuk diubah. Tradisi sekuler dan kebiasaan yang tidak biasa itu ada di dalam tubuh gereja, dan ikut serta dalam upaya pembangunan gereja. Pencapaian-pencapaian program gereja demi terwujudnya gereja yang mandiri dan berkembang, diwarnai dengan tetap berjalannya tradisi sekuler dan kebiasaan yang tidak membangun dari jemaat gereja itu sendiri. Sebuah pertanyaan bagi kita bersama, bisakah dan mungkinkah gereja dapat berjalan, berkembang, tanpa ada intervensi tradisi sekuler dan kebiasaan buruk dari jemaat sendiri??

Dalam kesempatan itu juga, Pak Wahyu memberi saya Ulos, sebagai kenang-kenangan, setelah beliau menjadi penawar tertinggi dalam lelang. Saya diberi Ulos, dua tusuk sate babi dan lemang menjadi milik beliau, satu botol bir Bintang dan satu botol tuak diberikannya pada orang lain setelah orang lain itu memintanya.

No comments:

Post a Comment