Saturday, May 22, 2010

SHOW YOUR LOVE TO EVERYONE


Demikian percakapan saya dengan mbak-mbak perawat RS di kantor informasi, hari Jumat kemarin untuk memimpin persekutuan di RS.

“Met siang mbak (Bahasa di sini: kak)” kataku.
“Met siang” jawabnya.
“Kantor dokter ini (menyebut nama seorang dokter) di mana ya?” tanyaku.
“Dokternya gak ada, udah pulang” jawabnya.
“Kalo dokter ini (menyebut kembali nama dokter lain)?” tanyaku kembali.
“Gak ada Bang, udah pada pulang.” katanya.
“Dokter ini (menyebut kembali nama dokter lain) ada?” tanyaku lagi.
“Gak ada Bang. Hari Jumat cuma setengah hari, semua dokter pulang jam setengah 12” katanya
“Oh gitu ya? Ya udah deh, makasih” kataku.

Dalam keadaan bingung, – persekutuan di RS udah hampir jamnya, sinyal HP mati, jadi ga bisa nelpon contact person – aku putuskan pulang dulu ke rumah dan mengambil HP satu lagi dan mengisi pulsanya, . Setelah itu, saya naek motor, mau nyalain motor, tiba-tiba ada beberapa orang mbak-mbak perawat menghadang motor saya. “Walah, ada apa lagi nih?” kataku dalam hati. Percakapanpun berlanjut.

“Mau kebaktian ya, Bang?” tanyanya dengan nada agak halus.
“Iya” kataku sambil ngembaliin lagi posisi motor ke tempat asal.
“Tunggu aja Bang di sini, mungkin mereka lagi makan, bentar lagi mereka kembali” katanya.

Sayup-sayup kudengar percakapan dari antara mereka, “Kenapa tadi kamu bilang para dokter sudah pulang?” tanya salah seorang perawat. “Ya abis, nggak liat Alkitabnya” kata perawat yang berbicara denganku. Kataku dalam hati, “Walah, mbak, Alkitab segede tafsiran Roma – Schreiner, saya jinjing dari tadi ga terlihat??” Percakapan pun berlanjut.

“Mari, masuk Pak” katanya sambil mengarahkanku masuk kantor bagian informasi.
“Di sini aja deh, ga apa-apa” kataku sambil bertanya-tanya kenapa sekarang manggil saya, bapak. 
“Bapak ini Pendeta?” tanyanya.
“Bukan. Penginjil” kataku (meski belum resmi jadi penginjil, mau bilang apa lagi?? )
“Masuk aja Pak, nunggu di dalam kantor” kata salah seorang dari antara perawat.
“Gak apa-apa mbak, di sini aja, adem” kataku sambil bersandar pada pilar RS.
Tak lama, para dokter datang dan kami mulai kebaktian.

Terlihat perbedaannya ketika berbicara sebelum mereka melihat saya membawa Alkitab, dan setelah tahu saya membawa Alkitab. Penafsiran diserahkan kepada para pembaca. Bebas menafsir. 

Tuesday, May 11, 2010

TRADISI DAN KEBIASAAN DALAM GEREJA SUKU


Pada hari Minggu, 9 Mei kemarin, saya mendapat pengalaman baru di tanah Batak ini. Sedih dan senang bercampur dalam pengalaman baruku ini. Kemarin, saya melayani di Pos PI GKKK Batang Toru, sebuah kota kecil, dua jam perjalanan dari Sibolga. Setelah menyelesaikan tugas pelayanan saya, saya diajak oleh salah seorang pengurus GKKK Batang Toru, dan juga salah seorang cikal bakal terbentuknya GKKK Sibolga, untuk ikut menghadiri pesta yang diadakan oleh gereja tetangga. Beliau bernama Bapak Wahyu. Karena keramahan dan kemurahan hatinya, beliau disegani oleh penduduk kota Batang Toru.

Selesai ibadah gereja, jam menunjukkan pukul 11.30, kami segera jalan kaki ke gereja tetangga. Ternyata begitu kami sampai di gereja tersebut, mereka belum selesai ibadah. Pendeta masih berkhotbah. Kami duduk di luar pelataran gereja bersama beberapa anggota jemaat gereja tersebut. “Tak apalah,” kataku, “lumayan bisa belajar dan dengar khotbah bahasa batak dari gereja tetangga, sekaligus gereja suku, yang memiliki banyak jemaat tersebar di Indonesia, bahkan kabarnya di luar negeri juga ada,” pikirku. Sambil tetap mendengarkan khotbah dalam bahasa Batak yang saya sama sekali tidak mengerti, saya bertanya kepada Pak Wahyu, “Ini pesta apa to Pak?” Beliau mengatakan bahwa yang akan dirayakan ini adalah Pesta Kebangunan Kaum Pria. “Oh, gitu toh,” ucapku. Rasa ingin tahuku semakin besar, dan ingin segera melihat acara apa ini. Kira-kira setengah jam kemudian, ibadah selesai. Seorang majelis gereja tersebut mengundang kami masuk ke tenda yang sengaja didirikan untuk acara ini. Tenda didirikan di luar halaman gereja.

Singkat cerita, Pak Wahyu dan saya bergerak masuk. Kami disuruh duduk di kursi paling depan!! Berjajar mulai dari pendeta gereja tersebut, Pak Wahyu, saya sendiri, kemudian di sebelah kanan saya ada tamu undangan lain. “Wuih, jarang-jarang kayak gini,”kataku dalam hati. Tak lama, kami disuguhi makan siang oleh panitia. Sambil makan, alunan musik khas Batak mengiringi makan siang kami. Sambil makan menghadap panggung kecil di depanku, tiba-tiba indra penglihatan saya tertuju pada beberapa tumpuk dus bir Bintang, dan ada juga bir hitam Guinness. “Apa pula ini? Untuk apa?” kataku dalam hati. Sambil berusaha menghabiskan makan siang, saya terus berpikir tentang hal itu, acarapun akhirnya dimulai.

Masih diiringi lagu khas Batak, MC naik panggung, berbahasa Batak yang tetap saya tak mengerti, namun saya mengira, sepertinya ini adalah acara lelang. Lelang ini bertujuan untuk pengumpulan dana gereja guna membangun sekolah TK yang bertempat di samping gedung gereja tersebut. Menurut informasi yang saya peroleh, seringkali dan bahkan katanya sudah menjadi tradisi bahwa setiap kali gereja membutuhkan dana, maka diadakan acara lelang tersebut. Sebenarnya biaya untuk pengadaan acara lelang ini saja, sudah dapat dikatakan sangat besar, sebab harus menyewa tenda, sound system, keyboard beserta pemainnya yang mahir memainkan lagu-lagu tanah Batak ini. Namun, sekali lagi, acara lelang ini sudah menjadi tradisi, yang dilakukan setiap kali gereja membutuhkan dana.

Baru kali ini aku menghadiri acara lelang, dan baru kali ini juga aku menghadiri acara lelang yang diadakan oleh gereja berkedok tradisi. “Menambah pengalaman baru,” kataku. Barang-barang yang diikutsertakan dalam lelang pun beragam, diantaranya: kepala babi, ekor babi, daging babi (dibuat sate; 1 tusuk berisi 3 daging besar), ayam bakar, hiasan dinding Perjamuan Makan Yesus, bir Bintang, bir hitam, air tuak, lemang (ketan yang dibakar di dalam bambu), dan selendang Ulos. Barang-barang dilelang dengan cara paket. Misalnya, sate daging babi 1 tusuk, lemang, tuak, 1 botol bir Bintang, dan 1 botol bir Guinness, dibuka dengan harga sekian, dan seterusnya sampai penawar harga tertinggi yang akan mendapatkannya. Nah, sekarang baru tahu saya apa fungsi bir tersebut. “Tetapi mengapa harus memakai bir? Apa gak ada minuman lain yang bisa dilelang?” pikirku.

Sementara acara lelang masih berlanjut, kami undur diri. Dalam perjalanan, saya bertanya kepada Pak Wahyu, “Pak, mengapa bir Bintang dan Bir Guinness diikutsertakan di dalam acara lelang gereja?” “Itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Minuman itu sudah biasa bagi mereka,” jawabnya. Yah, itulah tradisi dan kebiasaan. Tradisi dan kebiasaan yang tidak mudah untuk diubah. Tradisi sekuler dan kebiasaan yang tidak biasa itu ada di dalam tubuh gereja, dan ikut serta dalam upaya pembangunan gereja. Pencapaian-pencapaian program gereja demi terwujudnya gereja yang mandiri dan berkembang, diwarnai dengan tetap berjalannya tradisi sekuler dan kebiasaan yang tidak membangun dari jemaat gereja itu sendiri. Sebuah pertanyaan bagi kita bersama, bisakah dan mungkinkah gereja dapat berjalan, berkembang, tanpa ada intervensi tradisi sekuler dan kebiasaan buruk dari jemaat sendiri??

Dalam kesempatan itu juga, Pak Wahyu memberi saya Ulos, sebagai kenang-kenangan, setelah beliau menjadi penawar tertinggi dalam lelang. Saya diberi Ulos, dua tusuk sate babi dan lemang menjadi milik beliau, satu botol bir Bintang dan satu botol tuak diberikannya pada orang lain setelah orang lain itu memintanya.

Saturday, May 8, 2010

Popularity Contest??


The Christian life is not a popularity contest! Following Jesus' example, we should share the Gospel with the poor, immoral, lonely, and outcast, not just the rich, moral, popular, and powerful.

IN HIS LIGHT, WE MAY SEE LIGHT



Oh Thou who dwellest in the light that is unapproachable and full of glory, who is in the fullest of time didst send Thy Son who is the light of the world, in His light may we see light clearly. In His light may we see the majesty of Thy being and the graciousness of Thy purpose. In His light may we see our world and understand it, in this the time in which our lot is cast.
To that end bless us as we assemble together here seeking Thy light upon our work. Graciously grant, O Lord of light and glory, that this journal may ever be loyal to Thy truth and to Thy gracious purpose for the world, and may it too be ever relevant to the time in which we live and to its challenge. May the Holy Spirit of truth lead us into all truth. And may the grace of our Lord Jesus Christ, who is light and live and the way to both, graciously grant us a sense of His luminous presence that we may truly guided in all our deliberations, whether to analyze or decide, whether to explore Thy will or to be challenged by human need, in the name of Him who taught us to pray when we say: Our Father, who art in Heaven . . .

John A. Mackay (1889-1983). This prayer was offered by Dr. Mackay as president emeritus of Princeton Theological Seminary and honorary chairman of the Editorial Council of Theology Today at its meeting in Princeton on April 14, 1961. The motto of the journal at the time and until 1990, given to it by Dr. Mackay, was “Our Life in God’s Light.”

Dikutip dari A book of Reformed Prayers, (Louisville: Westminster John Knox Press, 1998) 116.

Blossom Flower


Just as the flower can never blossom when it never sees the sunlight, so our lives can never flower with the grace and beauty they ought to have until they are irradiated with the light of the presence of Jesus.
Barclay, William, Daily Study Bible Series: The Gospel of John - Volume 2 Chapters 8-21 (Revised Edition), (Louisville, KY: Westminster John Knox Press) 2000, c1975.