Wednesday, February 10, 2010

MISI

Misi adalah keseluruhan gaya hidup Kristiani, termasuk di dalamnya tanggung jawab pemberitaan Injil maupun tanggung jawab sosial, dengan didominasi oleh keyakinan bahwa Kristus mengutus kita ke dalam dunia sebagaimana Sang Bapa telah mengutus Dia ke dalam dunia, dan bahwa karena itu kita harus pergi ke dalam dunia - untuk hidup dan bekerja bagi Dia. - John Stott -

STATUS HAMBA TUHAN

Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Rabu, saya menggoreng pisang dengan adonan tepung seperti yang layaknya dijual di pinggiran jalan raya. Hmm, asik, uenak tenan. Makanan murah, enak, dan sederhana. Tiba-tiba saja, pada saat menggoreng pisang di depan kuali, ingatanku kembali ke masa lalu kepada pengalaman pelayanan bersama saudara saya, Daniel Sihombing.

Kurang lebih setahun yang lalu, bersama saudara saya, Daniel, kami melayani di sebuah gereja di wilayah Kesamben, Blitar, Jawa Timur. Berangkat hari Sabtu sore dan kembali hari Minggu siang. Sabtu itu, kami disuguhi pohong (singkong goreng). Entah mungkin karena baru panen singkong di desa, sehingga persediaan singkong begitu banyak. Maka mulailah saya menggoreng singkong itu.

Nah, pada saat itu kebetulan ada anak dari seorang teman, bernama David. Pada saat menggoreng singkong tersebut, dia berkata, “Minta ya…” seraya mengambil singkong yang masih hangat di piring sebelahku. “Iya,” jawabku. Tidak lama kemudian, dia datang kembali, dan mengatakan hal yang sama, “Minta lagi ya..” “Iya” jawabku. Tetapi kemudian dia bertanya sesuatu hal yang mengejutkan kepadaku, “Kamu pembantu di sini ya??” Deg, kaget aku. “Apa maksud dari pertanyaan itu?” pikirku. Aku sudah biasa mendengar khotbah, bahwa pelayan Tuhan adalah hamba. Dan pembantu adalah padanan katanya. Sama seperti kacung, jongos, budak, dan yang setaranya (sambil mengingat perkataan Pak Paul Gunadi di kelas).

Begitu sepertinya aku tak terima dengan pertanyaan itu, seolah ingin berkata, “Bukan, aku bukan pembantu.” Apalagi pertanyaan itu keluar dari mulut seorang anak kecil, yang mungkin ada di pikirannya pembantu rumahan yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Akupun berpikir hal yang sama saat itu.

Namun, saat itu sepertinya pikiranku bergerak cepat, sehingga saya menjawabnya, “Ya, saya pembantu di sini.” Setelah saya menjawab pertanyaannya, dia pergi sambil membawa singkong gorengnya. Si David pergi, karena pertanyaannya terjawab sudah. Bagaimana dengan si Peter? Oh, ternyata, dia masih ada di depan tungku kayu api dengan singkong yang sedang digorengnya, namun pikirannya mulai tenang. Dalam hatiku, aku merenung, bukankah pembantu, hamba, budak, slave, jongos, kacung itu sama?? Sambil makan singkong goreng hangat itu, aku berkata di dalam hati, “Aku adalah pembantu Tuhan.”

Setelah itu, saya menceritakan semua ini kepada saudara saya. Satu hal yang saya ingat pada waktu itu, saudara saya juga menempatkan dirinya sama dengan posisi saya, dengan status pembantu. Nyata pada keesokan harinya, setelah kami melayani, dan hendak pulang ke Malang, Daniel pamit kepada David, “Pembantu pulang dulu ya… Dadah David.”

Thanks buat David, mengingatkanku akan statusku.

Soli Deo Gloria!