Friday, September 11, 2009

WALK WITH GOD #2 (Kejadian 5:21-24)



2. Hidup yang bergaul dengan Allah adalah hidup yang berkenan kepada Allah
Mengapa Henokh dikatakan berkenan kepada Allah seperti yang tertulis dalam Ibrani 11:5? Mari kita perhatikan Yudas ayat 14-16.
BIS, dalam Yudas 14-16, menjelaskan tentang nubuat Henokh. Dari nubuat yang diberitakan oleh Henokh ini, kita bisa mengetahui bagaimana latar belakang suasana waktu Henokh hidup dan apa yang ia lakukan pada waktu itu. Situasi yang terjadi adalah suasana zaman yang penuh dengan kebusukan. Dalam ayat 16 Yudas mengemukakan beberapa watak dari orang fasik: mereka penggerutu, mereka senantiasa tidak puas dengan kehidupan yang Allah berikan kepada mereka. Peristiwa ini seperti halnya dengan bangsa Israel yang bersungut-sungut atas ketidakpuasan di padang gurun, dan akhirnya menyalahkan Allah yang menyediakan nasib buruk kepada mereka. Kemudian sifat lain, mulut mereka mengeluarkan perkataan yang bukan-bukan, yang artinya mereka suka menghujat Tuhan. Dan terakhir, mereka suka menjilat orang untuk mendapat keuntungan, karena itu mereka bergaul dengan orang kaya.
BIS, Henokh hidup sejaman dengan orang-orang fasik. Namun, Henokh tetap menjaga kesucian dirinya. Tidak itu saja, Henokh melakukan pemberitaan tentang Allah. Henokh mampu untuk tidak terpengaruh suasana zamannya, ia tidak berkompromi dengan dosa. Hidup Henokh berbeda dengan situasi zaman itu. Sekalipun Henokh memberitakan tentang Allah, namun tidak ada indikasi pemberitaan dan teladan hidup Henokh efektif sehingga orang-orang fasik itu bertobat dan berpaling pada Allah. Yang jelas adalah Henokh memberitakan tentang Allah dengan setia.
BIS, di tengah dunia yang tidak ideal, Henokh tetap menjaga hatinya. Henokh menjaga integritasnya di hadapan Tuhan. Sebagai keturunan ke-7 dari Adam, leluhurnya yang memberontak kepada Allah, sesungguhnya Henokh tidak terlepas dari kecenderungan untuk memberontak juga kepada Allah. Namun, oleh imannya Henokh justru hidup bergaul dengan Allah, dan diperdamaikan dengan Allah.
BIS, saya yakin hal ini menjadi suatu pergumulan berat bagi Henokh. Allah berkenan kepada Henokh karena imannya tidak hanya ditetapkan pada sesuatu yang ia rasakan di dalam hati, tetapi juga pada apa yang diekspresikan melalui bibir mulutnya serta diejawantahkan pula melalui kehidupannya setiap hari.
Dalam bagian lain di Kitab Kej. 6:9 Alkitab memberi kesaksian tentang Nuh yang hidupnya juga bergaul dengan Allah, demikian: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya.” Inilah seharusnya menjadi kualitas kita sebagai hamba-hamba Tuhan, hidup benar dan tidak bercela di antara generasi kita.
BIS, mata-mata jemaat memandang kita dengan sejuta harapan untuk mengarahkan mereka pada jalan kebenaran itu. Mereka memandang kita sebagai sosok yang patut diteladani. Bersyukurlah kalau harapan mereka menjadi kenyataan dalam diri kita yang dapat menginspirasi dan menantang mereka untuk hidup dalam kekudusan dan pengabdian serta pengorbanan Kristus yang terpancar melalui hidup kita. Namun sangat disayangkan bila sejuta harapan mereka itu kandas, karena sedang melihat diri kita yang tak ubahnya sama seperti orang-orang dunia ini.
BIS, apakah jemaat dan orang-orang yang mengenal kita sedang melihat dalam diri kita perbedaan yang sangat tajam dengan orang-orang yang hidup dalam generasi ini?
Apakah kita menunjukkan hidup yang sederhana ditengah-tengah zaman yang tamak dan rakus akan uang, harta, materi dan kekuasaan? Atau kita sama tamak dan rakusnya? Contoh sederhana, betapa mudahnya kita ditipu dan tergiur dengan undian dan tawaran bonus-bonus yang sedang ditawarkan oleh berbagai jenis produk atau provider atau yang lainnya.
Apakah kita menunjukkan hidup yang berkemenangan ditengah-tengah zaman yang sedang bergelimpangan dan bergelimang dosa seksual baik berupa pornogarafi, imajinasi kotor, masturbasi, percabulan, perzinahan, perselingkuhan, homoseksual dan kecemaran lainnya?
Apakah kita menunjukkan hidup yang berdedikasi, pengabdian serta pengorbanan yang tinggi ditengah-tengah zaman kita yang serba instan, mau enak sendiri, tidak bertanggungjawab, segera dapat ladang yang menjamin masa depan tanpa perjuangan yang tinggi?
Apakah kita menunjukkan hidup yang menikmati relasi pribadi dengan Allah yang intim ditengah-tengah zaman yang lebih mengejar penguasaan teknologi dan informasi? Apakah kita punya waktu untuk duduk diam dan tenang merenungkan Firman-Nya dan berdoa?
BIS, mata-mata mereka sedang memandang dan menantikan hidup seperti itu terpancar melalui diri kita. Apakah kita sedang menunjukkan perbedaaan yang tajam tersebut?
BIS, Tuhan Yesus memberikan suatu teladan hidup yang sungguh-sungguh bergantung pada Bapa-Nya, menikmati persekutuan dengan Bapa-Nya dan hidup menantang dunia ini dengan kebenaran dan kesucian.
Biarlah hidup kita mengalami relasi yang dalam dengan DIA dan berkenan kepada-Nya. Dan biarlah jemaat dan orang-orang yang mengenal kita dapat melihat perbedaan yang nyata dari hidup kita, dan mereka akan terinspirasi untuk hidup dalam kebenaran dan kekudusan. Biarlah generasi ini boleh menikmati dan mengutamakan Allah. Biarlah generasi ini boleh kembali dalam kehangatan Cinta dan Kasih-Nya.

AMIN

wayyithallek ‘eth-ha’elohim

WALK WITH GOD #1 (Kejadian 5:21-24)




BIS, cerita tentang Henokh ini adalah sebuah cerita yang unik. Unik karena di dalam cerita Henokh terdapat bentuk yang lain dari ayat-ayat sebelumnya; paragraf tentang Henokh ini membuat bentuk perikop yang monoton seolah terputus. Dua pernyataan diperlihatkan secara berbeda. Yang pertama, kita diberi tahu bahwa Henokh “hidup bergaul dengan Allah”, dan yang kedua adalah pernyataan “lalu ia mati” tidak muncul lagi tetapi muncul pernyataan, “lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah”.

BIS, setelah beberapa ayat menjelaskan tentang keturunan Adam, dan Set, dan dijabarkan bahwa keturunan mereka mengalami kematian akibat dosa yang Adam lakukan, selanjutnya tiba pada saat Henokh hidup, Henokh tidak mengalami kematian. Satu orang yang memecahkan pola siklus kematian. Ibrani 11:5 mengatakan bahwa Henokh diangkat Allah karena iman. Iman Henokh yang percaya kepada Allah bahwa Allah itu ada, dan karena itu Henokh berkenan di hadapan Allah.

BIS, pagi ini kita akan belajar dari Henokh bagaimana sebenarnya hidup yang bergaul dengan Allah itu?

1. Hidup bergaul dengan Allah adalah hidup yang terus menerus berjalan dengan Allah dalam iman.

BIS, kata “bergaul dengan Allah” diulangi sebanyak dua kali dalam paragraf ini. Frasa “bergaul dengan Allah” (wayyithallek ‘eth-ha’elohim) memiliki bentuk Hithpael Imperfek, yang berarti Henokh hidup berjalan bersama Allah secara terus menerus. Ini berarti selama 365 tahun Henokh hidup, dia selalu berjalan dengan Allah. Seseorang tidak dapat berjalan bersama Allah, kecuali pertama-tama ia datang kepada Allah dengan iman. Dan dalam Ibrani 11:5, secara jelas mengatakan bahwa Henokh diangkat oleh Allah adalah karena imannya kepada Allah.

BIS, dalam kitab Ibrani, iman diartikan sebagai kemampuan memahami kenyataan dunia Allah yang tidak kelihatan dan menjadikannya sebagai objek utama kehidupan seseorang. G. E. Ladd dalam Teologi PB, mengemukakan bahwa iman adalah sesuatu yang membuat dunia Allah yang tidak kelihatan itu menjadi nyata kepada orang percaya. Serta menurut Charles C. Ryrie dalam Biblical Theology of The New Testament mengungkapkan bahwa iman yang sebagaimana dideskripsikan oleh penulis kitab Ibrani, memberikan bahan pikiran kepada pengharapan dan dengan cara yang jelas, membuktikan realita untuk berpikir mengenai hal-hal yang tidak kelihatan. Iman tidak menciptakan sesuatu di dalam dunia yang tidak terlihat, tetapi iman menjamin realita keberadaan mereka.

BIS, Henokh memiliki iman sehingga ia bisa melihat Allah yang tidak kelihatan itu menjadi nyata dalam hidupnya, dan memberi kesaksian bagi kita sekarang ini. Iman yang dimiliki Henokh diteruskan hingga ia mempunyai sebuah komitmen atau janji yang mendasari seluruh perjalanan hidupnya dengan Allah. Dalam Amos 3:3, “Berjalankah dua orang bersama-sama jika mereka belum berjanji?” atau dalam terjemahan bahasa Mandarin, berbunyi, “Bagaimana mungkin dua orang berjalan bersama-sama bila mereka tidak sehati?” Jadi, jelaslah bagi kita bahwa dua orang tidak dapat sungguh-sungguh berjalan bersama dalam persekutuan yang manis, kecuali mereka saling akur. Maka, syarat mutlak untuk berjalan bersama adalah ada suatu harmoni, ada kesehatian diantara mereka.

BIS, kita semua punya dua kaki kan? Apakah ada yang punya lebih dari dua kaki? Kalau kita jalan kan seirama, satu-demi satu maju, seirama. Tapi, bagaimana kalau jalan kaki kanan pengennya ke kanan terus, lalu kaki kiri maunya ke kiri terus? Bisakah berjalan dengan normal? Saya kira tidak akan bisa. Maka dari itu, kaki pun harus bisa berjalan seirama, seharmoni. Syarat ini juga nampak dalam hubungan antara Allah dengan Nuh, (6:9), dan juga Abraham (17:1), di mana keduanya disebut juga orang yang hidup bergaul serta tak bercela di hadapan Allah.

BIS, sambil melihat kejadian yang serupa dengan Elia yang mengalami pengangkatan dalam 2 Rj. 2:3, juga beralasan jika kita berpendapat bahwa dalam diri Henokh terdapat sebuah figur atau sosok yang sama dengan Elia. Dan jika demikian, wayyithallek ‘eth-ha’elohim dapat berarti lebih dari sekedar “hidup menyenangkan Tuhan,” tetapi hal ini juga berarti “intimate companionship with God,” sebuah persahabatan yang mendalam dengan Allah.

BIS, sebuah persahabatan pasti ada faktor kesehatian di dalamnya. Kalau tidak sehati, berarti bukan dinamakan sebuah persahabatan. Sebuah persahabatan yang mendalam berarti relasi persahabatan yang mengenal keseluruhan individu tersebut. Dalam kuliah perdana kelas terapi keluarga, Pak Paul Gunadi mengutip perkataan C. S Lewis, demikian, “Kasih yang benar adalah kasih yang menuntut orang lain menjadi lebih baik.” Kemudian Pak Paul juga mengatakan bahwa kasih Agape adalah kasih yang menerima yang terburuk, serta menuntut yang tertinggi dari padanya. Tuntutan yang diberikan bukan dengan maksud jahat, tetapi dengan maksud untuk kebaikan orang yang dituntut itu sendiri. Allah telah mengasihi kita dengan kasih Agape; Dia mengampuni kita sampai serendah-rendahnya, tetapi Dia juga menuntut setinggi-tingginya dari kita.

BIS, apa yang menjadi tuntutan Allah? Dalam Mikha 6:8 (buka dan bacakan), berbicara tentang tuntutan Allah agar manusia mau “melakukan keadilan” dan “mencintai kesetiaan.” Ayat ini berisi tentang aturan hidup yang singkat tetapi padat. Siapapun yang ingin berjalan bersama dengan Allah harus melakukannya dengan rendah hati. Berjalan dengan rendah hati bersama dengan Allah sambil melakukan keadilan dan kesetiaan, itu berarti membuat Allah menjadi pusat dari kehidupan manusia. Henokh berhasil melakukan tuntutan Allah itu dengan setia. Dia bisa membangun persahabatan dengan Tuhan, dia bisa hidup harmonis dan sehati dengan Tuhan, dia bisa setia sampai Tuhan mau angkat dia. Semuanya karena imannya kepada Tuhan. Ia tidak mungkin berjalan bersama Allah selama 365 tahun tanpa mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah selama itu.

Harold Kushner mengatakan, “Manusia modern sedang memadamkan api suci, mereka sedang memperlebar ruang hati mereka untuk manusia, dan mempersempit ruang untuk Allah. Bukannya hidup manusia lebih baik tetapi lebih buruk.” BIS, inilah gambaran kita manusia yang hidup pada masa ini. Kita lebih mengejar kasih dan perhatian manusia daripada kasih setia Allah, padahal itu suatu yang fana. Inilah gambaran hidup manusia pada masa kini yang lebih mengejar harga diri, prestige, harta duniawi demi kebanggaan diri daripada mengejar karakter yang semakin serupa dengan Bapa kita. Kita sedang menginvestasikan waktu, pikiran, tenaga, harta untuk pemuasan keinginan kita sesaat, mengejar penghargaan serta penerimaan manusia. Tetapi sebenarnya kita malah kehilangan sesuatu yang sangat berharga yaitu kedamaian, sukacita, pengharapan dan kebahagiaan yang terus mengalir bagai sungai yang tidak berhenti mengalir. Kita kehilangan esensi hidup yang sesungguhnya, yaitu mengalami keintiman dengan Allah, mengalami kejutan-kejutan hidup dalam pengalaman bersama Allah yang tidak dapat diukur dengan logika dan nalar manusia. Kita kehilangan banyak suara hati Allah yang ingin Ia bisikkan untuk melembutkan dan memberi kedalaman hidup bagi kita. Kita kehilangan kesempatan mengalami hidup yang bermakna dan menjadi alat yang mulia di tangan Tuhan untuk menjadi saksi yang menggetarkan dunia dan generasi ini, dengan Cinta dan Kuasa-Nya yang memulihkan dan memperbaharui.

BIS, bagaimanakah relasi kita dengan Tuhan? Apakah kita yang sedang menjalani panggilan sebagai hamba Tuhan sudah dapat dikatakan seorang yang bergaul akrab dengan Allah? Apakah kita sedang menjalani hari-hari kita dengan keintiman relasi yang terus menakjubkan kita dalam pengalaman nyata akan anugerah-Nya tiap-tiap hari? Betapa ironinya BIS, bila kita yang seharusnya jadi contoh dan teladan orang-orang yang bergaul dengan Allah malah kita sedang jauh dari keintiman itu dan sedang intim pada sesuatu yang lain.

BIS,

o Mungkin saat ini Tuhan mengatakan pada kita, stop sms-anmu, stop habisin bonus sms mu, karena Aku punya kata-kata yang lebih menarik dan bermutu dari sms-anmu yang dangkal itu.

o Mungkin Tuhan mau berkata, stop nelpon pacarmu atau relasimu yang lain yang berjam-jam itu, Aku ingin bicara kepadamu anakku. Aku ingin bicara tentang apa yang paling penting dan bermakna dalam hidupmu. Bukan pembicaraan yang sekedar untuk memuaskan kesepian dan keinginanmu untuk diperhatikan dan dikasihi. Aku ingin berbicara dalam kedalaman makna hidup kepadamu.

o Mungkin Tuhan mau berkata, Stop jalan-jalanmu dari mal ke mal, dan refreshingmu yang berlebihan itu, karena Aku punya pemandangan yang menarik. Pemandangan yang melukiskan keindahan panorama dan keharuman Cinta-Ku.

o Mungkin Tuhan berkata, stop dulu bacaanmu, komik, novel, Koran dan buku-buku lainnya yang telah menyita waktumu. Stop anakku, Aku ingin kamu baca isi hati-Ku. Aku ingin kamu mengerti kehendak-Ku dan melakukan-Nya.

o Mungkin Tuhan mau berkata, Stop impianmu yang muluk-muluk itu, Stop kejar kariermu. Aku punya rancangan yang sempurna bagimu. Aku mau menunjukkan jalan hidup yang terbaik bagimu.

BIS, kesetiaan kita pada Allah terlihat sampai sejauh mana kesediaan kita untuk memprioritaskan Tuhan dalam segala aspek hidup kita. Tuhan ingin kita setia hidup bergaul, berjalan dan bersahabat dengan Allah setiap hari. Itulah yang Tuhan mau. Mari kita berhenti sejenak dari segala rutinitas kita dan berpaling kepada-Nya, diam dalam hadirat-Nya. Biarkan Tuhan menyentuh hati kita dengan kehangatan kasih-Nya.